Move On – Kim Haeun

move-on-copy

-KIM HAEUN-

Rumah mereka menjadi heboh, Myungsoo yang panik, Arzen yang menangis dan Sooji yang meringis. Semuanya terjadi secara bersamaan sehingga Sena-asisten rumah tangga yang baru dipekerjakan sejak usia kehamilan Sooji tujuh bulan-menjadi pening. Bingung harus melakukan apa, mengerjakan perintah Myungsoo yang menyuruhnya mengambil tas di dalam kamar atau menggendong Arzen untuk menenangkannya ataukah mendekati Sooji yang tampak kesakitan.

“Kim Myungsoo!”

Suara pekikan Sooji seketika membuat suasana menjadi hening, Arzen bahkan langsung menghentikan tangisannya untuk menatap Ibunya.

Papa jangan panik okay?” Sooji bersuara lagi tapi tidak mampu membuat kepanikan Myungsoo mereda, terlihat dari wajahnya yang masih kaku.

“Sena, kamu tolong ambilkan tas biru di kamar. Ada itu didekat lemari closet,” Sooji mengintruksikan Sena yang langsung dituruti oleh wanita itu, ia kemudian beralih pada Myungsoo yang masih mematung, “Papa sini, kita ke rumah sakit sekarang ya. Tapi jangan panik, semuanya baik-baik saja.” Sooji menjelaskan, baru saja Myungsoo akan bernafas lega tapi ringisan wanita itu terdengar sehingga ia memekik tertahan lalu mendekati Sooji.

“Bagaimana ini? Kamu akan melahirkan! Kita harus ke rumah sakit sekarang!” Sooji tersenyum saat Myungsoo berlutut didepannya mengulang kalimat yang sejak tadi diraungkannya, menyentuh perutnya yang berkontraksi dengan hati-hati dan ajaibnya rasa sakitnya sedikit berkurang karena sentuhan itu. Ia menyentuh rambut pria itu untuk menenangkannya.

“Ini masih kontraksi awal. Babynya belum keluar kok, jadi tenang dan siapkan mobil ya?” Sooji menjelaskan dengan tenang, ia tau bagaimana kepanikan Myungsoo. Ini adalah persalinan pertama yang dihadapi oleh pria itu jadi dia pasti tidak mengerti harus melakukan apa.

“Bu, ini tasnya,” Sena kembali dengan membawa tas besar yang berisi perlengkapan yang akan ia bawa ke rumah sakit.

“Bawa ke mobil ya, setelah itu bawa Arzen kekamarnya.”

Sena bergegas keluar bersamaan dengan Myungsoo, sesuai titah Sooji mereka mengerjakan apa yang harus dilakukan.

Arzen menatap Ibunya dengan mata memerah, “Mom, satit?” Sooji tersenyum meminta putranya untuk mendekat, Arzen yang tadinya takut karena melihat perut Ibunya sangat besar perlahan mendekat. Saat mendengar teriakan panik Myungsoo karena kontraksi pertama yang dirasakan Sooji membuat Arzen terkejut dan berakhir dengan tangisan kencang.

“Adiknya sudah mau lahir, Arzen nanti tunggu dirumah bareng Sena ya?” Arzen mengamati Sooji dalam diam, “nanti kalau adiknya lahir, Arzen boleh datang ke rumah sakit untuk melihatnya.”

“Dedetnya udah ada?” Tanya Arzen polos, Sooji tersenyum kecil.

“Sebentar lagi. Asal Zen menunggu dengan tenang di rumah ya? Biar adiknya mau ketemu sama Arzen.”

Bocah itu langsung mengangguk, lalu kemudian Sena muncul setelah memasukan tas kedalam mobil, “Sena ini Arzennya ditidurkan saja ya. Nanti Jiwon akan kesini untuk menemanimu menjaganya,” Sena mengangguk mengerti lalu membawa Arzen kekamarnya.

Sooji menanti Myungsoo kembali, saat pria itu masuk dengan wajah pucat ia hanya bisa tersenyum, “Papa sayang, sudah dong jangan cemas begini. Kami baik-baik saja.” Sooji bersuara pelan saat Myungsoo memapahnya, ia masih bisa berjalan jadi menolak saat pria itu berniat menggendongnya.

“Bagaimana tidak panik sayang. Kamu kesakitan itu! Lagipula kata dokter waktunya satu minggu lagi, kenapa sakitnya sekarang sih!” Myungsoo mendumel cemas, dengan hati-hati membimbing langkah Sooji untuk keluar dari rumah. “Oh Arzen–” tepat ketika mendudukan Sooji ke dalam mobil, ia langsung teringat Arzen. Wajahnya kembali panik karena melupakan putranya yang satu itu.

“Arzen bersama Sena. Sekarang masuk ke mobil dan bawa aku, perutku semakin sakit–” Sooji meringis diakhir kalimatnya membuat Myungsoo kelabakan, pria itu langsung menutup pintu mobil, berlari memutar dan masuk kebalik kemudi, “jangan ngebut ya. Hati-hati, anakmu disini.” Sooji memperingati saat Myungsoo bersiap menjalankan mobilnya, pria itu mengangguk tapi tidak benar-benar mengindahkan peringatan Sooji. Karena sekarang ia sudah memacu mobilnya membelah jalanan kota Seoul dengan kecepatan diatas rata-rata saat mendengar ringisan Sooji sekali lagi.

***

Sooji membuka matanya saat merasakan kontraksi itu datang lagi, kali ini lebih kuat dari sebelumnya sehingga ia memekik kesakitan, Jiah yang duduk disampingnya langsung berdiri untuk mendekat padanya.

“Sooji, sakitnya datang lagi?” Tanya Jiah, Sooji melirik Ibunya dan mengangguk lemah.

“Myung–soo mana?”

“Myungsoo pulang kerumah. Sena mengatakan Arzen mengamuk ingin ketemu adiknya,” jelas Jiah. Sooji mendesah panjang, dia mau Myungsoo disini.

Semalam saat tiba di rumah sakit dokter mengatakan ia sudah berada pembukaan empat jadi masih ada waktu yang diperlukan sampai ia siap melahirkan. Dokter menyarankannya untuk menginap di rumah sakit saja untuk menunggu pembukaannya sempurna, dan sekarang pagi menjelang tapi pembukaannya belum sempurna juga.

“Pembukaan ke berapa Bu?” Sooji bertanya, ia merasa lemas, dulu saat melahirkan Arzen ia tidak pernah merasa selemas ini. Kontraksi yang didapatkannya tidak sekuat sekarang.

“Masih pembukaan delapan sayang. Sabar ya, sakitnya akan hilang nanti,” Jiah mengelus kening Sooji yang berkeringat, “kamu tidak bisa jalan-jalan dulu?” Sooji menggeleng sembari meringis, ia terlalu lemah untuk berdiri.

“Bu, aku mau Myungsoo,” lirihnya pelan, kemudian ia memekik lagi ketika perutnya kembali merasa sakit, “Myung–soo–“

Jiah meringis melihat wajah kesakitan anaknya, “tunggu ya, Ibu telpon Myungsoo dulu.”

Jiah menjauh untuk menelpon Myungsoo, mengatakan Sooji terbangun dan memintanya untuk datang. Myungsoo luar biasa panik mendengarnya, terlebih ia sedikit mendengar pekikan Sooji dibelakang Jiah.

“Bu, tolong jaga Sooji. Aku akan segera disana secepatnya.”

“Myungsoo hati-hati nak. Pikirkan keselamatanmu juga.” Jiah menasehati, ia tidak ingin karena kepanikan Myungsoo, pria itu menjadi kenapa-kenapa.

“Bu! Sa–kit, perutku sakit Ibu!”

Jiah langsung mendekati ranjang Sooji, anaknya menangis sambil mencengkram perutnya.

“Sayang tahan sebentar ya, dokter akan segera datang,” Jiah berkata menenangkan, ia kemudian menekan tombol untuk memanggil dokter. Sementara Sooji semakin terisak karena rasa sakit yang menerjangnya.

“Ibu–sa-kit, Myungsoo–mana, aku mau–Myungsoo–” Sooji terus meracau sedangkan Jiah hanya mampu mengusap peluh diwajah putrinya tanpa bisa membantu apapun.

“Myungsoo sudah dijalan, sabar ya.”

Sesaat kemudian pintu kamar Sooji terbuka, dokter kandungannya beserta dua orang suster masuk unthk memeriksa keadaannya, “Ibu, ini sudah pembukaan sembilan. Sudah siap masuk ke ruang bersalin ya,” dokter memberitau tapi Sooji menggeleng tegas.

“Myungsoo, aku mau Myungsoo.”

Jiah menggigit bibirnya, menatap dokter dengan pandangan putus asa. Ia tau Sooji pasti tidak akan mau masuk keruang bersalin tanpa Myungsoo, seketika ingatannya kembali ke lima tahun yang lalu dimana situasi yang sama terjadi dihadapannya. Saat itu ia juga menemani putrinya, menunggu suaminya untuk datang sebelum ia melahirkan. Tapi semuanya berakhir tragis.

“Sayang, Myungsoo sudah dijalan. Kamu masuk ke ruang bersalin dulu ya, nanti kalau Myungsoo datang Ibu akan menyuruhnya menyusulmu.”

Sooji menggeleng tegas, ia menangis. Tidak ingin kemanapun sebelum bertemu Myungsoo. Tidak peduli dengan sakitnya, ia harus bertemu Myungsoo. Ia tidak mau berada diruang bersalin sendiri seperti dulu.

“Bu, bayinya sudah bergerak–kita harus persiapkan persalinannya, jika tidak itu akan membahayakan bayi dan Ibu sendiri,” dokter menjelaskan lagi, mencoba meruntuhkan kekeras kepalaan Sooji.

“Sooji, Ibu mohon nak. Myungsoo akan datang tapi kamu pindah dulu ya,” Jiah membujuk lagi, Sooji memegang perutnya yang kembali sakit, “Sooji–“

Merasakan sakit diperutnya tak tertahankan akhirnya ia mengangguk, dua suster yang dibawa oleh dokter tadi membantunya untuk pindah ke ruang bersalin.

*

“Dokter, Myungsoo–” Sudah lebih dari duapuluh menit Sooji siap untuk persalinannya namun Myungsoo belum juga tiba, “kenapa dia belum datang?” Tanyanya lemah.

“Suami Ibu belum tiba, kalau dia tiba suster akan membawanya masuk. Jangan khawatir ya,” dokter menjawab dengan tenang tapi Sooji sama sekali tidak bisa tenang.

Ia memikirkan apa yang menahan Myungsoo selama ini?

Tiba-tiba kilasan saat ia berada diruang bersalin lima tahun lalu muncul, ia meringis dengan mata terpejam. Tidak, tidak mungkin kejadian itu terulang. Myungsoo akan tiba dengan selamat disini dan menemaninya, Myungsoo akan datang bukan?

Tapi hingga dokter mengumumkan pembukaannya telah sempurna dan siap untuk melahirkan, pria itu tidak juga datang. Sooji menangis, ia menggelengkan kepalanya, “ak–u ti–dak mau,” isaknya dengan suara parau.

“Bayinya harus dikeluarkan segera Bu,” dokter mengucapkan dengan suara menuntut tapi Sooji bersikeras tidak ingin melakukannya. Dia mau Myungsoo.

“Aku–tidak–mau–” suaranya putus-putus, sakit diperutnya masih belum hilang, ia bisa merasakan bayinya didalam bergerak dengan aktif.

Kamu sudah ingin keluar ya nak? Tapi ayahmu belum datang–

“Myungsoo,” Sooji berbisik lirih, ia tidak mau menebak apa yang terjadi padanya saat ini. Ia tidak sanggup memikirkan jika sesuatu terjadi pada Myungsoo, tidak sebelum pria itu melihat anaknya lahir, tidak sebelum ia mengungkapkan apa yang belum diungkapkannya selama ini.

“Bu, kita harus mengeluarkannya segera sebelum bayinya meninggal didalam–“

Badan Sooji menegang, bayinya meninggal? Tidak–itu tidak boleh terjadi, akhirnya dengan terpaksa Sooji mengangguk. Membiarkan dokter mengeluarkan bayinya.

“Baiklah, silahkan mengejan Bu,” Sooji mengejan dengan perasaan yang hancur, ia membutuhkan Myungsoo disini. Ia tidak mau Myungsoo berakhir seperti Ben. Ia benar-benar akan hancur berkeping-keping saat itu terjadi.

Aku membutuhkanmu Myungsoo.

Aku membutuhkanmu Myungsoo.

“Sooji!”

Sooji yang sedang berusaha mengejan langsung merasa kelegaan mengguyur seluruh tubuhnya, ia mendengar suara Myungsoo, hingga merasakan sebuah tangan besar menggenggamnya, Sooji merasa hatinya menghangat.

“Myungsoo–” ia berbisik lirih, menoleh untuk melihat wajah penuh keringat Myungsoo, ia tersenyum kecil melihat pria itu baik-baik saja, “kamu datang–“

Myungsoo mengangguk meremas tangannya, “sayang bertahan ya. Kita akan bertemu malaikat kita sebentar lagi,” Myungsoo berbisik sebelum menjatuhkan kecupan dikeningnya. Sooji mengangguk lemah, saat mendengar intruksi dokter untuk mengejan lebih kuat lagi, Sooji melakukannya. Ia meremas tangan Myungsoo yang menggenggamnya.

“Sayang bertahanlah, aku disini–bertahan untuk anak kita,” Myungsoo terus berbisik menyemangatinya, Sooji merasa kesadarannya hampir hilang sampai mendengar suara tangisan bayi. Matanya mengabur dan perlahan menjadi gelap.

Terakhir yang diingatnya hanyalah ciuman di bibir dan keningnya yang dilengkapi dengan kata cinta oleh Myungsoo.

***

“Namanya sapa?” Arzen bertanya semangat, ia sudah duduk diranjang rawat Sooji, memperhatikan adik barunya yang sedang disusui oleh Ibunya.

“Tanya daddy kamu, namanya siapa,” Sooji bersuara, Arzen langsung menoleh menatap ayahnya yang berdiri memperhatikan mereka.

“Sapa dad?”

Myungsoo tersenyum sekilas, “Haeun, nama adiknya Zen Kim Haeun,” jawabnya kemudian, terdengar nada bangga disana saat mengatakan Haeun adalah adik Arzen.

“Aun, Aun cantip!” Arzen mendekati Sooji menoel pipi adiknya dengan gemas, “Aun cepet besal ya, ntal main ama akak Zen.” Ujarnya dengan pandangan berbinar, Sooji tersenyum menatap putranya.

“Iya sayang, nanti Zen harus jaga Haeun kalau sudah besar ya,” sahut Myungsoo, ia ikut duduk ditepi ranjang Sooji, membawa Arzen keatas pangkuannya.

“Aun cantip dad, kayak Mom,” Arzen bersuara, Myungsoo tersenyum membenarkan, “kalau Zen anteng, kayak dad ya?” Sooji langsung saling berukar pandang dengan Myungsoo ketika mendengar pertanyaan itu, sesaat setelahnya keduanya tertawa.

“Iya sayang, Arzen ganteng sama kayak daddy,” ucap Sooji menjawab dengan senyum geli, Arzen terlihat senang. Bocah itu kembali menatap wajah adiknya dengan terpana, bibir tipis serta hidung mungilnya menarik perhatian Arzen, bocah itu menyentuhnya dengan hati-hati membuat Haeun menggeliat.

“Jangan diganggu sayang, adiknya lagi tidur itu.” Arzen cemberut mendengar teguran Myungsoo, “nanti kalau Haeun sudah bangun, Zen bisa main lagi,” lanjut Myungsoo membuat wajah Arzen kembali ceria.

Beberapa jam setelahnya Arzen sudah terlelap didalam gendongan Myungsoo, Sooji tersenyum melihatnya. Putranya sudah kelelahan karena sejak tadi menanti adiknya terbangun lagi tapi Haeun tetap tidur, hingga akhirnya Arzen ikut tidur.

“Myungsoo, Arzen ditidurkan disofa saja. Kasian kamu nanti capek gendong dia,” ujarnya pada Myungsoo yang berdiri disamping box bayi Haeun yang khusus diminta Myungsoo untuk berada dalam kamar ini. Ia tidak ingin putrinya tidur terpisah dari Sooji, jadi dokter memenuhi keinginannya.

Myungsoo bergerak mendekati sofa dan membaringkan Arzen disana, memberikan bantal sofa disamping tubuhnya agar tidak terjatuh. Kemudian setelahnya ia mendekati ranjang, duduk didekat Sooji.

“Bagaimana keadaanmu?” Tanyanya menatap Sooji, tangannya terangkat untuk menyingkirkan anak rambut yang mencuat kewajahnya.

“Aku merasa sehat,” jawab Sooji singkat, mereka berdua saling bertatapan sejenak sebelum Sooji mengalihkan pandangannya, ia teringat sesaat sebelum kehilangan kesadarannya diruang bersalin beberapa hari lalu.

Benarkah Myungsoo mengatakannya? Atau itu hanya hayalannya saja?

“Hei, ada apa?” Myungsoo menyentuh wajahnya, memintanya untuk berpaling. Sooji menatapnya dengan senyum tipis serta gelengan kepala.

“Aku hanya berpikir kapan bisa pulang. Haeun pasti senang dengan kamar barunya,” ungkapnya menyembunyikan apa yang sedang dipikirkannya, Myungsoo tersenyum melirik Haeun yang tertidur pulas di boxnya.

“Dia pasti suka. Kan Papanya yang pilih semua barang-barangnya,” ujarnya dengan bangga. Sooji tersenyum malu-malu, ia menarik tangan Myungsoo dan memainkan jemarinya disana.

“Terima kasih Myungsoo,” gumamnya pelan, Myungsoo menggeleng lalu mengangkat wajah Sooji untuk menatapnya.

“Seharusnya aku yang mengatakan itu. Terima kasih sudah menghadirkan dua malaikat dihidupku,” ucap Myungsoo dengan suara rendah, “aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa kalian bertiga.”

Sooji terharu mendengar kalimat Myungsoo yang menyiratkan rasa syukur yang begitu besar akan keberadaannya dan anak-anaknya disisi pria itu. Ia kemudian membayangkan bagaimana ia menjalankan hidupnya jika tidak Myungsoo.

Mungkin selamanya ia akan terpuruk akan kehilangan Ben dan terus menutup hatinya untuk siapapun. Dia hanya akan hidup berdua bersama Arzen, menunggu hingga putranya menuntut kehadiran ayah yang tidak pernah dimilikinya. Dia tidak akan memiliki Haeun, putri cantiknya. Dan terakhir mungkin dia tidak akan lagi bisa merasakan perasaan berdebar saat dekat dengan pria lain.

Tapi kehadiran Myungsoo, membuat perasaannya yang sudah lama tenggelam didasar yang paling curam kembali terangkat naik. Kehadiran Myungsoo membuat jantungnya yang semula berdetak hanya untuk mengalirkan aliran darah keseluruh tubuhnya kini berfungsi lebih dengan getaran hangat dan menenangkan saat pria itu disampingnya.

***

Cie cie dedeknya udah lahir 😍😍😍 Zen pasti seneng itu~

See you next part 🙌🙌🙌

[17/03/17]

regards2

8 responses to “Move On – Kim Haeun

  1. Gak kebayang gimana takutnya sooji waktu nungguin myungsoo.
    Sampe aku juga ikutan takut, takut kejadian dulu keualang kembali..
    Untunglah mereka semua selamat.

    Liked by 1 person

Give Your Feedback Please